pluralitas adalah hal yang tidak dapat di tolah kehadirannya. karena ini merupakan kehendak dari allah swt. Hal ini kemudian menjadi dasar kita untuk berbangsa dan bernegara. Jika kita merunjuk ke belakang tentang sejarah pembentukan dan pendirian negeri ini, fouding fathers telah merumuskan dengan sangat cerdas.
Pilihan sebagai Negara bukan agama, sekalipun masyarakat mempunyai keterikatan dengan agama- agama atau negara sekuler, merupakan suatu yang berharga selama kelangsungan hidup ini. Namun, kecerdasan fouding fathers tidak kita diikuti secara teliti dengan cermat. Malahan cenderung dinegasikan, sehingga yang muncul demikian adalah adanya keinginan uniformisasi.
Dalam kaitan sebagai Negara nonsekuler dalam arti memercayai kehadirat Tuhan dalam hidup berbangsa dan bernegara kita kemudian mendeklarasikan sebagai religious society, tentu saja apapun nama agamanya, untuk suku ras, kelas dan golongan manapun. Tentu saja, pilihan Negara yang bukan sebagai Negara agama dan bukan juga sebagai Negara sekuler tidak merupakan pilihan satu- satunya untuk terus dipertahankan sampai hari kiamat. Namun begitu, untuk merubah pilihan berbangsa dan bernegara haruslah memiliki landasan rasionalitas yang memadai sehingga pilihan - pilihan dapat diterima.
Berbeda pilihan antara masa awal pendirian Negara memang tidak salah dan berdosa. founding fathers juga bukan nabi apalagi tuhan yang telah menentukan seluruh karyanya didalam kitab suci. Dalam konteks pluralitas warga nrgaea dan bangsa itulah, kajian dalam bagian ini hendak memberikan gambaran tentang suatu kondisi dimana posisi Negara tampak akan memperkuat posisinya dihadapan masyarakan religious dengan suatu peraturan yang kontroversial. Peraturan tersebut memang sampai sekarang belum disahkan oleh birokrasi Negara, tetapi indikasi untuk dipaksakan pada warga negara menjadi perdebatan yang serius dikalangan masyarakat.
Uniformasi telah terjadi pada rezim ini berkehendak “manjawabkan” seluruh budaya nasional. Budaya nasional adalah budaya jawa.Ini kesalahan besar yang tidak boleh terulang kembali. Indonesia masa depan adalah Indonesia yang beragam agama, etnis, suku, ras dan golongan/kwlas social. Sabab itu,revolusi kelas yang dikhotbahkan Marx,Lenin dan kaum Marxis tidak berhasil karena memang tidak mungkin menjadikan seluruh warga masyarakat menjadi satu jenis kelas sosial. Revolusi kelas dapat menjadi cita-cita tatkala masyarakat kita mangalami penindasan yang maha dahsyat oleh kelompok dominan, sehingga hanya dengan menumbuhkan kesadaran kelas proletar maka perubahan akan terjadi. Hegemoni akan terbongkar tatkala masyarakat tertindas sadar akan posisinya yang marjinal. Untuk penjelasan tentang sublimasi represif dapat kita temukan dalam tulisan filsuf yang sosiolog Herbert Marcuse; One Dimention Man (1957).
Perkawinan sebagai contoh topic, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa cultural yang bersifat social. Ketika banyak orang yang akan terlibat pada hal tersebut, dan banyak orang yang akan memaknainya, maka secara psikologis suatu pasangan belum akan siap melakukan perkawinan lintas agama, lintas cultural dan lintas kelas social, mungkin akan lebih baik untuk tidak dijalankan. Konflik mei 1998, konflik di ambon, konflik di sambas, di sanggauledo dan poso barangkali menyisakan semacam penyesalan- penyesalan dalam diri masing- masing individu. Perubahan akan terjadi ketika sikap dan perilaku bertemu, belajar dan saling mempengaruhi dan terpengaruh. Pertemuan berbagai orang yang secara social, agama dan pandangan keagamaan yang berbeda akan membentuk suatu yang bersifat sama.dalam prespektif kaum liberal, disisi lain, sebagaimana dikemukakan Will Kymlicka, (2003: 236- 240) menyatakan bahwa toleransi agama merupakan pikiran yang sangat menekankan pada adanya kebebasan individu dalam beragama.kini merupakan kebebasan individu untuk beribadah, menyebarkan agama, pindah agama, atau bahkanmenolak agama. Dalam “ system millet” Turki utsmani, misalnya, umat islam, Kristen dan yahudi, semuanya diakui sebagai suatu kesatuan yang memerintah diri sendiri (millet), dan diperkenagkan menjalankan hukum agama yang restriktif kepada para umatnya masing- masing.
Untuk berbagai alasan teologis dan strategis, orang- orang turko Ottoman memberikan kepada kelompok minoritas tidak hanya kebebasan untuk menjalankan agamanya, tapi juga suatu kebebasan yang lebih umum untuk memerintah diri sendiri dan urusan yang murni internal, seperti keluarga dengan undang- undang dan hukumnya tersendiri. System millet sebenarnya merupakan setem federasi teokrasi yang banyak ditolak oleh penggas liberalism dari Locke, sampai kant dan mill, namun demikian system millet ini bisa dikatakan paling maju dari system non- liberalism menuju toleransi agama.
Sumber: Dr. Zuly Qodir (sosiologi politik islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar